“sampean itu tipe cewek yang suka cemburuan nggak dek?”. Itu adalah salah
satu pertanyaan yang dilontarkan oleh suamiku saat dulu kami belum menikah,
sedang melalui proses penjajakan.
“nggak tuh” jawabku mantap dan
cepat. Cepat tanpa perlu mengijinkan hati dan pikiranku untuk menganalisis dan
menilai apakah dalam diriku terdapat sifat pecemburu. Bisa jadi jawabanku tadi
adalah spontanitas untuk tidak mau mengakui karena gengsi, hehehe.. :p
“hmmm… aku bukan cewek yang suka
cemburuan tapi kalo curigaan mungkin iya.” Akhirnya aku mulai membuka diri
untuk jujur. Meskipun untuk menerangkan lebih lanjut tentang apa beda cemburu
dan curiga aku tidak punya cukup waktu untuk berpikir saat itu, apakah
seseorang itu curiga karena sedang cemburu atau cemburu karena sedang curiga?
*mbulet ya :D*. “aku bukan cewek yang
suka melarang pasangannya berhubungan dengan lawan jenis tanpa alasan yang
jelas. Tapi, aku memang tidak suka kalo melihat cowok dan cewek berkomunikasi
terlalu intim, mau itu bercanda, curhat-curhatan, yah..kalo mau berkomunikasi
yang penting-penting ajalah,,” lanjutku kemudian. Suamiku yang saat itu
statusnya masih calon hanya diam mendengarkan sambil menyunggingkan senyuman. Karena
sudah kepalang tanggung berbicara dan yang diajak bicara cuma merespon dengan
senyum, aku teruskan lagi bicaranya “jadi, sampean nggak usah khawatir kalo aku
bakalan minta sampean putus silaturrahim dengan teman cewek sampean, selama
hubungan pertemanannya dalam batas komunikasi yang wajar ya monggo, tapi kalo
sudah ngajak komunikasi masalah pribadi yang siap-siap aja tak curigai, aku kan
harus waspada :p” cerocosku dan suamiku merubah senyumnya dengan ekspresi
nyengir. Tiba-tiba aku menjadi sensitif membahas masalah ini, terbukti aku
masih melanjutkan bicaraku “penting kali ada cemburu dalam sebuah hubungan, kan
kata orang cemburu itu tanda cinta, tanda kalo kita bener-bener pengen menjaga
cinta yang kita jalin agar tidak jatuh kedalam ketidaksetiaan, lagian tingkat
kecemburuan itu kan juga tergantung dengan siapa kita berpasangan, kalo
pasangan kita adalah orang yang pendiem, suka utak atik barang mati, temennya
sedikit mungkin nggak begitu cemburu-cemburu amat, kalo berpasangan dengan
orang seperti sampean kayanya penting tuh untuk cemburu berat, lah orang yang
merasa nyaman dengan sampean kan banyak,
bahkan ada yang terang-terangan menyatakan rasa nyamannya itu, nenek-nenek pun
juga ada yang kesengsem..” uraiku membela diri dan suamiku mengikik
mendengarnya. “jadi, kalo aku cemburu, bisa aku pastikan kalo itu bukan sekedar
aku menuruti egoku yang tidak suka pasanganku dekat dengan lawan jenis, tapi
lebih karena aku merasa hubungan yang ingin aku jalin dengan baik oleh pasangan
sedang ada yang mengancam”. Kali ini suamiku mengangguk mantap.
Wajar jika suamiku bertanya seperti
itu padaku, kami adalah dua orang dengan beberapa karakter yang berbeda.
Sama-sama supel, cuma kalo suami bisa supel ke siapa aja, sedangkan aku agak
canggung kalo harus berakrab-akrab ria dengan lawan jenis. Makanya,
satu-satunya cowok yang menjalin hubungan spesial denganku sampai akhirnya
menikah ya suamiku itu, intinya aku nggak punya mantan pacar sebelum menikah,
kalo suami? Ah, sudahlah aku lagi nggak pengen bahas itu (nah loh mulai kan,
cemburu :p *biarin* ) Di awal-awal menjalin hubungan dengan suami benar-benar
sempat shock rasanya, melihat bagaimana beberapa sikap teman cewek suami yang
menurutku agak vulgar, ya nggak pernah lihat langsung seh (jangan sampek,
na’udzubillah *elus2 perut*) paling liat bagaimana kata-kata mereka saat
chatting, sms, etc. “Mas kangen….”, “Kakak sayang….”, “Mas uda punya pacar
blom, masa cowok kaya sampean blom punya pacar..” (modus banget nggak seh
kata-kata yang kaya gitu…). Kalo sudah mergokin yang kaya gitu ketika kami lagi
bersama, suasana pasti langsung jadi kaku, mau masang ekspresi sewajar apapun,
karena nggak pernah kursus acting tetap aja yang terpampang diwajahku adalah
ekspresi yang cemburu tidak suka dengan hal itu. Biasanya suami akan
menetralkan suasana dengan menjelaskan siapa si cewek, seperti apa pertemanan
mereka, bagaimana perasaan suami sendiri terhadap si cewek yang bersangkutan.
Dan……apapun penjelasan suami biasanya tidak cukup ampuh untuk melenyapkan rasa yang
campur aduk dalam sekejap, karena apapun penjelasan suami, aku tetap pada
prinsipku, itu tidak pantas! :p
Pernah suami sampai bilang, “dek,
aku cuma butuh kepercayaan dari sampean, gimana ya caranya supaya sampean bisa
percaya sepenuhnya sama aku, apa perlu aku sampai berlutut..”
Seumur-umur, selama 23 tahun ya
baru kali ini ada yang menawarkan diri berlutut dihadapanku, siapa coba yang
tidak tersandung eh tersanjung, tapi tetep nggak boleh keliatan donk kalo lagi
tersanjung pasang ekspresinya sambil mrengut. :D
“aku sudah memilih sampean, aku
cinta sampean, itu berarti aku akan fokus menjalani hubungan dengan sampean,
dan bersungguh-sungguh sampai kita menikah nanti, insyaallah…” begitu biasanya
suami berusaha meyakinkan if there is
nothing happened between them. Kalo udah dalam suasana kayak gini, aku
tidak bisa memposisikan diri sebagai pasangan, tetapi rival, prinsipku harus
benaaarr :D maka akupun meresponnya, “apa itu cukup? Sampean pilih aku dan kita
menikah, aku harus percaya, jadi sampean pengennya aku diem aja, senyum aja
ngeliat sampean “diganggu” cewek-cewek itu, ngeliat sampean seperti
menikmatinya ato diem aja ngeliat sampean asik chatingan, smsan, curhatan
masalah pribadi dengan mereka, aku harus diem aja begitu, ato malah
mempersilahkan, silahkan mas terus-terusin aja, nikmati aja, toh nanti nikahnya
sama aku kan, boboknya sama aku, bikin anaknya sama aku, gitu kah mas?” cercaku
padanya dan suami hanya diam, suamiku tahu betul kalo sudah seperti ini
menanggapiku hanya akan membuat emosiku tambah naik dan jadi adu mulut. “aku
tidak bodoh! Mana mungkin aku harus bersikap biasa saja, sedangkan di luar sana
sudah banyak orang yang membuktikan bahwa ketidaksetiaan bahkan perselingkuhan
bisa terjadi karena komunikasi antar lawan jenis yang tidak disadari diam-diam
malah menjerumuskan.” Kalo lagi emosi aku memang sangat bersemangat untuk
mempertahankan argumen :p
“iya aku salah, aku minta maaf ya,
aku akan memperbaiki diri lagi ke depan, maaf ya” biasanya kunci untuk cooling down emang dipegang suami, dia paling jago kalo bikin hati
“nyeesss” setelah sebelumnya terasa “nyooss” dengan kata-kata seperti itu. :3
jago dah mengeluarkan jurus buat “membungkam” lawan :D kalo sudah begitu
biasanya aku juga mulai meredakan amarahku, mulai bisa dengan agak tenang
menceritakan perasaanku and thanks Allah
we always end the “war” happily. Yah… Begitulah terkadang perselisihan yang muncul dalam kisah
cinta kami. Kalo diinget setelah kejadiannya lewat kadang suka senyum-senyum
sendiri, jujur ada rasa heran juga kenapa pada satu momen aku bisa sebegitu
cemburunya, ah tapi aku tetap bertahan pada prinsipku “cemburu itu bisa menjaga
cinta” mungkin aku hanya perlu belajar untuk mengungkapkannya dalam porsi yang
pas. :D