Sabtu, 12 Maret 2016

Jika Diberi Waktu 8 Hari Mempersiapkan Gelar "Khusnul Khotimah"

Posted by Unknown on 07.34 with 19 comments


Apa yang paling dekat dengan kita? Yang paling dekat adalah kematian begitu Imam Al Ghazali berkata. Kematian adalah kepastian yang akan mendatangi setiap makhluk, sebagaimana tertuang dalam potongan ayat ke-185 Surat Ali-Imran bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati, sudahkah kita mempersiapkannya? Mari mulai memikirkannya, andai Allah begitu baik meminta malaikat pencabut nyawa mengabarkan terlebih dulu, bahwa 8 hari lagi saya akan dijemput olehnya menuju alam barzah, inilah yang insya allah akan saya lakukan selain menjaga ibadah wajib dan sunnah :

Day 1 
Menenangkan diri
Biar gimanapun pasti kaget, takut, bingung. Deadline menulis saja sudah membuat kelabakan, apalagi deadline masa hidup di depan mata. Waktu 8 hari kalau untuk menghadapi kematian, oh betapa singkatnya. Saya tidak akan menceritakan pada siapapun, karena saya tidak ingin ada yang sedih bahkan sejak 8 hari menuju kematian saya.

Day 2 
Membuat daftar hutang yang saya miliki, berusaha melunasinya dan mewasiatkannya jika tidak mampu. Meskipun saat ini saya sedang tidak memiliki hutang (semoga selamanya) tetapi masalah hutang ini kadang menyita pikiran. Bagi saya hutang bukan berupa uang saja, tetapi juga janji. Hutang terkadang bukan sesuatu yang jumlahnya besar tetapi juga kecil, seperti hutang 500 rupiah di tukang sayur, kios sembako ataupun warung makanan. Saya pernah memiliki pengalaman waktu membeli sayur di penjual sayur langganan, saya membayar dengan nominal lebih namun beliau tidak mempunyai kembalian dan jumlah kembalian itu terbilang besar lebih besar dari harga belanjaan, beliau meminta uang pas atau jika tidak ada membayar besok saja, karena tidak ingin berhutang saya mencari-cari lagi di dompet receh demi receh dengan harapan terkumpul sejumlah uang yang harus saya bayarkan. Sayangnya jumlah tersebut kurang 500 rupiah.

“nggak papa mbak, besok saja kekurangannya” kata penjual sayur.

“nggak bude, saya ada uang 500 di dalam, tunggu sebentar ya..” kata saya.

“nggak papa mbak, nggak usah repot-repot” kata beliau lagi

“nggak papa bude, ada kok uang 500 nya tunggu ya..” kata saya sambil berlalu menuju ke dalam rumah. Saya adalah kolektor uang 500-an jadi bagi saya menemukan uang 500 adalah mudah tidak perlu sampai mencari hingga kolong tempat tidur.

Entah mungkin karena miss communication, ketika saya kembali, penjual sayur sudah hilang dari pandangan. Ada rasa sebal di dalam hati, apa susahnya menunggu beberapa detik saja, saya tidak bisa mengejar beliau karena memiliki bayi yang sedang tidur dan tidak ada orang dewasa selain saya. Namun kemudian, saya berusaha berpikir positif, bisa jadi si penjual sayur sedang terburu-buru atau beliau tidak begitu memperhitungkan uang 500 itu karena jumlahnya yang kecil jadi seandainya saya lupa membayar beliau ikhlas. Namun, hutang tetaplah hutang, keberadaannya membuat hidup tak tenang, apalagi jika tidak ada akad yang jelas, akhirnya saya mengirim sms pada suami bahwa saya memiliki hutang.

Begitulah hutang, kadang kita bisa jadi orang yang berhutang meski tidak ada niat berhutang, seperti pengalaman saya di atas. Pembahasan hutang ini mungkin yang terpanjang, kenapa? Karena hutang merupakan pengingat bagi saya pribadi yang jujur jarang mengingat mati, dan kadang merasa waktu saya hidup di dunia masih lama. Ketika saya memiliki hutang langsung yang saya bayangkan adalah masihkah ada besok untuk menunaikannya?

Day 3 
Membeli kain kafan
Jika saya mengetahui kepastian bahwa saya akan mati 8 hari lagi, maka saya akan menyiapkan kain kafan saya sendiri, mencucinya, dan menyetrika dengan rapi.

Day 4-5
Silaturahim
Hal yang ingin saya lakukan sebelum mati adalah bersilaturahim terutama kepada kedua orang tua saya, karena sejak menikah saya hidup terpisah dari mereka. Saya akan berterima kasih sekalian meminta maaf kepada mereka karena saya mungkin bukanlah anak yang sempurna. Selain itu saya ingin bersilaturahim dengan kerabat dan sahabat saya. Oh ya sebagai orang yang hidup di era digital, saya akan membuat sebuah status intinya saya minta di maafkan jika ada salah dan khilaf.

Day 6
Berwasiat
Saya akan memberitahu suami kabar kematian saya sekaligus memberi wasiat bahwa saya ingin dikubur di kampung halaman orang tua saya, dan jika orang tua berkenan, saya ingin anak kami diasuh oleh mereka. Siapa tahu suami ingin menikah lagi, ya walaupun saya sendiri tidak yakin suami akan menemukan pengganti sebaik, sesetia, secantik (namanya juga wanita) dan segalak saya. Saya juga akan meminta suami untuk menemani saya selama dua hari ke depan atau minimal jika tidak bisa menemani selama 24 jam, meminta tolong orang lain, saya ingin ketika meninggal ada yang menuntun saya mengucap syahadat.

Day 7
Waktu semakin mendekat, selama hari ke-7 dan 8 saya tidak akan pergi kemana-mana. jika boleh memilih saya ingin meninggal di dalam rumah. Memenuhi hari-hari saya dengan lebih banyak berdzikir memohon ampun dan berdoa agar kematian saya dimudahkan.

Day 8 
Siap tidak siap, mau tidak mau, tibalah hari kepastian itu dan tidak ada lagi tempat untuk lari serta bersembunyi. "Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa suatu bencana mereka mengatakan: "ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)", Katakanlah:"Semuanya (datang) dari sisi Allah", maka mengapa orang orang itu (orang munafik) hampir hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun." (QS. An Nisaa' : 78). Saya akan mandi besar sejak sebelum subuh dan menjaga wudhu agar sewaktu-waktu malaikat menjemput setidaknya saya sedang dalam keadaan bersuci.

Ternyata selama 8 hari menyiapkan kematian, bukan hal yang bersifat keduniawian yang saya pikirkan, bukan mau piknik kemana atau mau barang mewah apa. Ah, boro-boro pengen ini itu, semua kenikmatan seperti tidak ada rasanya lagi, karena saya sadar ruang kubur saya tidak cukup untuk harta benda yang saya miliki. Soal kematian bisa membuat lidah kelu serta ciut nyali, mengingat apa yang seharusnya saya bawa belum sepenuhnya saya persiapkan, yaitu amalan baik. Kematian tidaklah menakutkan, jika kita selalu ingat dan waspada dengan berhati-hati menjaga diri sehingga ketika dipanggil sewaktu-waktu tidak dalam keadaan berbuat hal yang dimurkai Allah. Seorang bijak pun berkata sepandai-pandainya orang adalah ia yang mengingat dan mempersiapkan kematiannya. Alam kubur tidak seperti sekolah yang mensyaratkan kesamaan umur, ia juga tidak mempedulikan apakah kita masih ada udzur. Semoga Allah memperkenankan kita semua memasuki alam barzah dengan keadaan khusnul khotimah. Aamiin

 “Tulisan ini diikutkan dalam dnamora Giveaway”

Kamis, 03 Maret 2016

Menyusuri Jejak-Jejak Hikmah Dalam Sejarah Hidup

Posted by Unknown on 07.59 with 8 comments

Bulan Maret adalah bulan yang istimewa dalam hidup saya, mengapa? Karena dibulan ini Allah menakdirkan saya lahir ke dunia. Saya adalah anak sulung dari seorang ayah bernama Suyidno dan ibu bernama Rumini, tepatnya saya resmi menjadi anak mereka sejak 4 Maret tahun 1989. Oleh orang tua saya, saya diberi nama Rosyida Mulyasari, panggilan saya di keluarga adalah Lia sedangkan teman-teman sekolah ada yang memanggil saya Ros, Rosyi, Ida atau Rosyida.

Lahir Dari Keluarga Prajurit
Ayah saya seorang TNI-AD, beliau memiliki tugas berpindah-pindah, hingga akhirnya mendapat tempat tugas yang tetap di Kota Dili, Timor-Timur, disana pulalah tempat saya lahir. Semua tentu sudah tahu bahwa Timor-Timur yang kini berdiri sebagai negara sendiri dengan nama Timor Leste, pernah menjadi bagian sebagai salah satu provinsi di NKRI. Saat Timor Leste sedang bergejolak karena sebagian penduduknya ingin menjadikan wilayah tersebut sebagai sebuah negara, ayah membawa saya sekeluarga ke kampung halaman ayah dan ibu di pulau jawa tepatnya di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Sebelum keadaan semakin memburuk dan tugas semakin berat, sangat tepat keputusan beliau untuk mengevakuasi keluarganya terlebih dulu, saya masih ingat saat-saat suara desingan peluru sering terdengar menemani malam-malam kami di Kota Dili. Setelah mengantarkan kami istri dan anaknya, ayah pun kembali ke medan tugas mempertahankan NKRI. Hari-hari saya jalani tanpa kehadiran ayah selama berbulan-bulan. Saat itu jangankan HP untuk sms, telepon saja tidak ada, tidak seperti sekarang yang sudah jamannya smartphone dimana komunikasi jarak jauh begitu mudah. Ya, memang begitulah resikonya, hanya saling mendoakan yang bisa kami lakukan agar ayah senantiasa selamat, dan dapat berkumpul lagi bersama kami dengan keadaan sehat tak kurang satu apapun. Alhamdulillah, Allah mengabulkan doa kami, Ayah pulang dengan selamat meskipun akhirnya Timor-Timur tidak dapat dipertahankan, yang artinya saya pun tidak bisa kembali lagi untuk melanjutkan sekolah disana, ataupun bermain-main dengan teman saya.

little me ^_^
Dari Anak Kota Menjadi Anak Desa
Hidup berpindah dari suasana kota ke desa tidak mengurangi kebahagiaan saya menjalani masa kanak-kanak. Perbedaan tentu saya rasakan, pada saat di Dili saya sering menghabiskan weekend dengan bermain sepatu roda bersama teman-teman di bandara kota Dili, kemudian membeli buku di gramedia, atau menikmati eksotisnya pantai -pantai di Kota Dili dan saat harus pindah ke kampung halaman orang tua, barulah saya tahu bahwa orang tua saya berasal dari sebuah desa di bawah kaki gunung, sejauh mata memandang adalah gunung dengan segala hal yang masih sangat alami, hutan, sawah, sungai, dan lain-lain. Saya menikmati kehidupan baru saya sebagai anak desa, bermain aneka permainan tradisional dengan teman-teman baru saya, bermain di sawah dan sungai, bahkan saya kadang suka ikut teman-teman mencuci baju di sungai meskipun di rumah tidak sedang kekurangan air. Terkadang hal yang saya rindukan di masa kecil adalah betapa di masa kecil saya sangat bahagia dimanapun saya berada, persis seperti lagu anak-anak, “disini senang, disana senang, dimana-mana hatiku senang....”

Beranjak Remaja Dengan Segala Ceritanya
Saya menjalani kehidupan baru dengan baik, ada sedikit kendala yang saya alami diawal yaitu kendala bahasa, saya yang biasanya berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia agak kesulitan memahami Bahasa Jawa, bahkan saya pernah mendapat nilai merah di rapor untuk pelajaran Bahasa Jawa. Saat SMA saya bisa membahagiakan dan membanggakan orang tua dengan masuk sekolah terbaik dan terfavorit di Trenggalek. Lulus SMA saya melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu Universitas. Saya menempuh jalur SNMPTN dengan pilihan pertama Bahasa Inggris. Sejak pertama mendapatkan pelajaran Bahasa Inggris saya begitu jatuh cinta, bahkan kesukaan saya pada mata pelajaran ini tidak berkurang meski ke jenjang pendidikan berikutnya. Namun, Allah punya rencana lain, Alhamdulillah saya lulus SMPTN tetapi ternyata saya gagal mendapatkan pilihan pertama dan berkesempatan untuk mengambil pilihan kedua yaitu jurusan Bimbingan dan Konseling (BK) di Universitas Negeri Malang.
Dari awal saya sudah niatkan bahwa saya hanya akan kuliah melalui jalur SNMPTN, dan jika gagal saya tidak akan mengambil jalur lainnya, rencana saya, saya akan kursus atau bekerja hingga berjumpa dengan kesempatan SNMPTN di tahun depan. Jadi, ketika saya lolos dengan pilihan kedua, saya pun tidak ragu untuk mengambilnya, meski tidak bisa dibohongi ada rasa sedih karena jurusan yang paling saya inginkan tidak bisa saya dapatkan, namun saya tidak larut dalam kepedihan itu. Saya yakin Allah pasti punya rencana lain, bukankah Allah adalah sebaik-baik perencana? Allah pasti punya alasan sendiri mengapa saya ditakdirkan berkenalan dengan jurusan BK. begitupun dengan kegagalan menempuh jurusan Bahasa Inggris, mungkin Allah ingin saya belajar dengan cara lain, dengan cara gratis, bukankah asal masih ada semangat belajar Bahasa Inggris bisa dilakukan dengan otodidak? yup! Saya temukan kuncinya, tetap jaga semangat!!


bersama teman-teman kuliah, kangen rek!
Hidup Mandiri Saat Kuliah di Luar Kota
Saya begitu antusias menjalani kehidupan saya sebagai mahasiswa baru. Terbukti saya menikmati perkuliahan di jurusan BK, saya mampu beradaptasi dengan lingkungan kampus dan lingkungan baru tempat saya tinggal, berinteraksi dengan teman-teman dari berbagai daerah. Meski jauh dari orang tua dan jadi anak kos, saya bisa mandiri kecuali tentu soal finansial. Empat tahun menjadi anak kuliahan tentu jenuh jika dihabiskan dengan kuliah-pulang-kuliah-pulang. Maka, selama kuliah saya pun mengikuti beberapa organisasi baik intra maupun ekstra kampus. Salah satunya organisasi dakwah, yang juga turut andil dalam perubahan diri saya untuk berhijab. Ya, saya mulai berhijab di awal semester ketiga, sesuatu hal yang seharusnya sudah saya lakukan jauh sebelum itu, yang masih saya tunda-tunda dikarenakan halangan yang sebenarnya tidak begitu besar dan bukan datang dari pihak luar, yaitu halangan dalam diri yang bernama "belum siap". Namun dari situ saya sadar, bahwa ternyata musuh terbesar saya seringnya adalah diri saya sendiri.
Selain berorganisasi, saya juga menjalani kerja sambilan dengan memberikan les privat, alhamdulillah hasilnya memang tidak bisa menopang 100% kebutuhan kuliah, tetapi minimal ada tambahan pemasukan jika sewaktu-waktu ada keperluan tak terduga, kebutuhan kuliah kadang memang tidak bisa diprediksi, bukan? Itu sebabnya saya juga mengikuti beberapa kali seleksi beasiswa untuk mahasiswa berprestasi baik melalui persyaratan IPK atau karya tulis ilmiah, dan sekali lagi alhamdulillah saya pernah menerima beberapa jenis beasiswa yang jumlahnya sangat lumayan untuk biaya SPP dan lain-lain.

bersama ayah dan ibu pada acara wisuda
Lulus Kuliah Mantap Menikah
Saya adalah orang yang memiliki impian sebagaimana orang-orang kebanyakan. Saya ingin lulus kuliah mencari kerja, atau kuliah lagi dengan mencari beasiswa kuliah baik di dalam maupun di luar negeri, singkatnya karir atau lanjut kuliah adalah dua prioritas saya. Tetapi, sekali lagi Allah punya rencana lain, usai lulus kuliah saya justru mantap menikah, hal yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, saya akan menikah di usia 23 tahun. Ternyata Allah memilihkan karir untuk saya yaitu menjadi istri dan ibu. Titel yang sungguh luar biasa, karena dibalik itu genaplah separuh agama saya dan surga ada di telapak kaki saya. Setelah menikah saya diboyong suami ke kota asal suami yaitu Bojonegoro dan disinilah di KTP saya tertera tempat dimana saya tinggal sampai detik ini. Profesi sebagai Ibu Rumah Tangga adalah dunia baru bagi saya, banyak hal yang saya pelajari yang tidak saya temukan pada materi kuliah. Disela-sela kegiatan domestik, saya menjadi tentor les di sebuah bimbingan belajar yang jam mengajarnya sore atau malam hari, saya juga coba-coba berjualan secara online, dan juga menyempatkan menulis dan sesekali mendapatkan job menulis.

keluarga kecilku yang sedang berproses menjadi keluarga besar :D
Hidup Terus Berjalan menorehkan hikmah
Selama 27 tahun banyak hal yang terjadi dalam hidup saya, saya bahagia terlahir dari keluarga yang menyayangi saya, saya bahagia menikah dengan pria yang mencintai saya, saya bahagia memiliki seorang putri yang selalu mengisi hari-hari saya dengan penuh kegembiraan. Sudah lebih dari seperempat abad hidup ini saya jalani, saya pernah merasakan sesuatu yang membahagiakan, membanggakan, mengecewakan, menyedihkan. Saya pernah mendapatkan apa yang saya inginkan, pernah gagal, pernah mendapatkan hal yang tak terduga baik itu menyenangkan maupun tidak. Sungguh begitu banyak pengalaman rasa dan hidup yang Allah torehkan dalam kehidupan saya, dan bagi saya yang terbaik dari semua itu adalah rasa ikhlas, mengapa demikian?
Karena rasa ikhlas bagi saya merupakan rasa yang harus dimiliki untuk setiap kondisi kehidupan yang saya alami. Ikhlas memudahkan saya untuk bersyukur dan bersabar, saat saya terpuruk saya tidak mudah putus asa, saat sedang berbahagia tidak menjadikan saya terlena. Ya, ikhlas bagi saya bukan diam pasrah, ikhlas bukan sesuatu yang lemah tetapi justru sebaliknya ikhlas menunjukkan bahwa kita kuat, kuat menjalani hidup yang Allah berikan, sehingga dengan kekuatan itulah kita memiliki energi untuk mencari solusi saat masalah menerpa dan menjaga hati saat kenikmatan hidup menyapa. 27 tahun berarti ratusan bulan, ribuan hari, dan tak terhitung jutaan menit serta detik telah saya jalani. Semua itu membuat saya merenung, betapa Allah telah menjadikan saya kaya, kaya akan hikmah yang terkadang lambat untuk saya sadari. Ke depan saya ingin menjadi pribadi yang lebih baik dan dewasa serta bermanfaat bagi sesama. Aamiin Ya Robbal Alamin.. ^_^


Spesial untuk teman baru saya mbak Ika Puspitasari yang berulang tahun di bulan yang sama dengan saya, selamat menikmati detik-detik menuju pergantian usia, semoga semakin berkah sisa usia yang dijalani, sehat dan dimudahkan segala yang dinginkan. Saya suka dengan blognya, sepertinya saya juga perlu belajar kepada mbak Ika nih ;). Terima kasih sudah menyelenggarakan giveaway dengan tema yang menarik, saya jadi tidak sabar tulisan saya ini dibaca dan dikomentarin anak cucu *eh :D

 "Tulisan ini diikutkan dalam Bundafinaufara 1st Giveaway"