Dulu waktu masih jadi jomblo selama 23 tahun, saya adalah
orang yang sering menanggapi sesuatu dengan lempeng. Ada fenomena apa ya cuek
saja, biarlah orang dengan pilihannya, suka-suka mereka, saya tidak peduli,
saya tidak menanggung akibat dari perbuatan mereka, terlebih sepertinya saya “sombong”
merasa bahwa apapun pilihan orang lain itu tidak akan mempengaruhi pilihan dan kehidupan
saya. Ya, bagi saya ketidakpedulian itu adalah bentuk kepedulian yang paling
baik, bagaimana tidak? dengan tidak peduli kita kan seperti memberi kebebasan
kepada orang lain untuk menjalani pilihan hidupnya, sebagaimana saya juga ingin
bebas menjalani kehidupan saya. This is me, young and free!
Setelah menjadi Ibu sebagian besar cara pandang saya berubah
*lirik haru anak*. Ketidakpedulian dan kesombongan dimasa muda saya itu seperti
tidak relevan untuk saya terapkan pada keluarga saya, saya sadar saya keliru
dengan sikap apatis saya dulu itu. Kini, saya telah memiliki amanah terbesar
yang pernah saya terima dalam hidup yaitu seorang anak, seorang anak yang akan
tumbuh dewasa dengan harapan menjadi generasi yang lebih baik dari generasi
sebelumnya. Namun, saya sadar saya berada pada zaman yang berbeda dengan zaman
saya kecil dulu. Beberapa fenomena yang terjadi saat ini membuat saya
mengernyitkan dahi. Contohnya kaum LGBT dibelahan dunia lain yang sedang
merayakan legalitas yang baru saja mereka dapatkan, bertambah lagi satu negara
yang melegalkan LGBT dan negara itu adalah negara adi daya, negara super power
(you know what). LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) as we know adalah
sebuah perilaku seksual yang menyimpang, note menyimpang!
Entah akan dicap apa saya, pobhia mamarika, sok berteori konspirasi
atau apalah-apalah. Yang jelas kita tahu bahwa dalam suatu komunitas itu, tidak
akan berhenti dalam jumlah tertentu, sebuah komunitas akan memperluas jangkauan
untuk mendapatkan member yang lebih banyak lagi dan lebih luas lagi, tidak
hanya dari satu daerah. Mereka akan mencari dan terus mencari anggota yang senasib
dan akan memperkuat diri, bisa dilihat dengan semakin bertambahnya negara yang
melegalkan LGBT. Kurang lebih seperti itu bukan karakteristik sebuah komunitas?
Sehingga, bukan hal yang tidak mungkin wabah LGBT akan sampai di negara kita,
para pelaku tidak malu-malu lagi karena mereka sekarang memiliki legalitas
(membayangkannya saja ngeri, naudzubillahi min dzalik..)
Mengenai teman-teman yang dengan tegas meremove dan
memblokir pertemanan orang-orang yang memasang simbol pelangi pada foto profil
mereka, saya rasa sah-sah saja. Saya justru heran, ketika ada yang nyinyir
mengatakan “gitu aja sudah mendapat reaksi nggak enak, dianggap begini begitu,
dikatain ini itu” padahal sudah jelas simbol pelangi khususnya di FB memang
sengaja dibuat dalam rangka merayakan legalisasi kebebasan LGBT, wajar jika ada
yan terkejut ketika ada yang memasang simbol itu dan menanyakan apa maksudnya,
jika memang menolak LGBT kenapa harus memasang, jika memang mendukung apa
maksudnya?
Ada yang bilang bahwa LGBT itu hanyalah cara
mereka agar diakui eksistensinya, oh ya? Diakui eksistensinya atau perilakunya?
We do know they are exist kok, ada juga yang bilang semestinya kita iba pada
mereka dan merangkul. Saya setuju bahwa kita harus merangkul dan membantu
mencari solusi agar mereka bisa kembali ke jalan yang benar, tapi tentu saja
mereka yang ingin sembuh dari penyakitnya itu atau mereka yang mau diajak untuk
sembuh, bukan yang menolak untuk disembuhkan merasa itu hak mereka bahkan hak
mereka juga untuk menularkan “virus” tersebut pada orang lain. Naudzubillah.. So,sorry
to say, bagi saya mereka yang menuntut perkawinan LGBT legal adalah mereka yang
bebal. Lihat saja, tuntutan yang mereka ajukan agar apa yang mereka lakukan
dilegalkan, berarti mereka memang ingin hidup dengan perilaku menyimpangnya itu dan
tidak ingin “diganggu”.. Bukankah orang bijak adalah orang yang sadar bahwa
dalam hidup ini kita bebas memilih pilihan, tetapi tidak bebas memilih
konsekuensinya. Lucu, ketika nanti mereka memilih untuk hidup dengan perkawinan
homoseksual tetapi mereka menginginkan memiliki anak, sedangkan anak hanya bisa
didapat dengan perkawinan heteroseksual. Mereka sudah memilih untuk “stay”
dengan perilakunya itu tetapi mereka tidak mau menerima konsekuensinya, dan
minta diakui serta simpati dunia? Makhluk macam apa mereka ini? Hiks, Allah
please keep my mouth from saying something bad.
Pada akhirnya kita benar-benar harus menyadari bahwa kita
berada di akhir zaman, zaman dimana fitnah (ujian) dunia begitu merebak. Semoga
tulisan ini sebagai pengingat diri untuk semakin memegang buhul yang kokoh,
memperbanyak doa, memperkuat aqidah dan ilmu, semoga Allah membentengi diri dan
keluarga kita dari fitnah dunia. Aamiin.