Dalam suatu kesempatan menghadiri
wisuda suami, aku bertemu dengan kakak tingkat saat kuliah dulu yang kebetulan
dia juga sedang menghadiri wisuda rekan kerjanya saat itu. Seperti umumnya dua orang yang lama
tak bertemu, kami berbasa-basi dengan menanyakan kabar. Kakak tingkatku itu
merasa surprised melihatku sudah menggendong bayi yang tidak lain adalah
putriku yang berumur 6 bulan, sedangkan status kakak tingkatku itu
masih single. Sesekali dia menyelingi obrolan kami dengan mengajak bercanda
putriku.
“kamu kerja apa sekarang? ato IRT?” salah satu pertanyaan
yang terlontar darinya.
“aku IRT mbak sekarang, neh sibuk ngurus si kecil.” Ucapku.
“oh iya ya, malah bagus kok, malah berpahala ya…” timpalnya.
“ah, semua berpahala kok mbak, mau disambi kerja ato full
IRT, yang penting niatnya dan kondisinya memungkinkan.” Lanjutku.
Yup. Bagiku menjadi seorang ibu yang
berkarir ato full IRT sama saja hebatnya. Semua tergantung bagaimana menata
niat dan melaksanakan tugas yang telah diemban dengan baik. Baik ibu berkarir ato IRT sama-sama memiliki ladang
pahala yang luas. Tidak ada yang lebih baik ato lebih hebat karena apapun itu
tentu tidak selalu diukur dari status semata. Begitu pun dengan ibu berkarir
ato IRT semua baik, semua hebat, sepanjang melakukan rutinitasnya dengan hati yang
bahagia dan didasari dengan rasa cinta kepada keluarga tanpa meninggalkan
tanggung jawab terhadap keluarga dan tentu saja keluarga terutama suami ridho. Tidak
seharusnya ada yang merasa lebih berhak akan surga karena memiliki waktu yang
utuh dengan keluarga ato merasa lebih mulia dan bermanfaat karena bisa ikut
mengais pundi-pundi rupiah bagi keluarga. Kelalaian bisa saja menimpa ibu berkarir maupun IRT, contohnya
bagi ibu berkarir, pekerjaan yang menumpuk bisa saja begitu menyita waktu dan
perhatian sehingga waktu untuk keluarga jadi sedikit/banyak terampas, belum
lagi kalo ternyata hal tersebut berdampak secara psikologis, stress kerja
dibawa juga ke rumah jadi uring-uringan, mengeluh, murung, dsb. Belum lagi
kondisi beberapa tempat kerja yang rentan terhadap gosip, kompetisi pamer,
hubungan dengan lawan jenis yang terlalu intim dan dapat mengarah pada
perselingkuhan. Kalo sudah terlalu menyerempet ke hal-hal yang negatif apapun
yang didapat jadi means nothing kan..
Nah untuk IRT sendiri meskipun stay at
home dengan segala urusan domestiknya tetap bisa terjebak dalam kelalaian,
waktu dan kerjaan yang dimiliki seorang IRT memang relatif fleksibel, mau
dikerjakan kapanpun bisa, tapi kalo cenderung menggampangkan kerjaan dengan
alasan bisa dikerjakan nanti-nanti, kapan donk kelarnya..stress juga bisa
menimpa IRT, mengerjakan rutinitas yang cenderung sama, tidak memiliki teman berbagi kerjaan, merasa tidak
memiliki wadah untuk aktualisasi diri, masih terbayang-bayang cita-cita yang
ingin dikejar diluar sana bisa membuat diri menjadi labil. Sebagai manusia yang
hidup di zaman hi-tech, kondisi ini
juga bisa menggaggu fokus kerja seorang IRT (kalo ini ibu berkarir juga bisa
terkena dampaknya) apa-apa dikerjakan sambil tidak terlepas dari beraktivitas
dengan gadget , memasak sambil BBMan,
mengurus anak sambil update status (Alhamdulillah, ketika mengetik ini sudah
kupastikan anakku tidur dengan pules les les :D ).
Jadi ibu berkarir ato IRT mutlak
hak pribadi setiap wanita. Keputusan terbaik yang diambil bisa jadi berbeda antara
satu wanita dengan wanita yang lainnya karena kondisi yang dialami pun berbeda.
Whatever your choice, whether it is easy or not, enjoy it happily, and stop
comparing yourself with others. Every
choice has it own plus and minus. Dan semua wanita harus menghormati dan
mendukung pilihan yang dibuat wanita lainnya demi keluarganya.
hahaha,kita senasib buk.....good writing...
BalasHapusrumahku surgaku.. surga di bawah telapak kaki ibu..
BalasHapusapalagi kalau di rumah ada ibu... :D