JILBAB
: UNTUK MENUTUP AURAT ATAU AKHLAK?
Tulisan
ini saya buat karena kebingungan yang saya rasakan terhadap pandangan dan juga dakwah tentang berhijab,
sebagaimana kita tahu bahwa sebagai seorang muslim kita diwajibkan untuk
menutup aurat, iya menutup aurat wajib bagi semua muslim, baik muslim laki-laki
maupun perempuan, jadi bukan hanya perempuan saja yang diwajibkan menutup
aurat, yang membedakan adalah batas-batas aurat yang harus ditutupi bagi
perempuan dan laki-laki.
Faktanya
kita tahu, bahwa belum semua muslim menutup aurat secara sempurna, terlebih
perempuan. Masih banyak sekali perempuan yang menampakkan aurat mereka. Ada beragam
alasan yang mereka kemukakan mengapa salah satu kewajiban ini belum mereka
lakukan. Diantaranya belum siap lahir batin, merasa diri tidak pantas, tidak
mendapat ijin dari pihak lain (pasangan, orang tua, instansi tempat bekerja,
dan lain-lain), serta beberapa alasan lainnya.
Namun,
saat ini kampanye berhijab semakin gencar disampaikan oleh berbagai kalangan,
mulai fashion designer, ulama, ustadzah, artis. Sehingga menjadi jawaban bagi
mereka yang masih ragu untuk berhijab, kesadaran berhijab semakin meluas, kita bisa
melihat bahwa hijab sekarang telah banyak digunakan oleh berbagai kalangan juga,
apapun profesinya banyak perempuan yang tidak canggung lagi menggunakan hijab
dalam keseharian mereka.
Memang
benar bahwa berhijab adalah perintah untuk menutup anggota badan yang merupakan
aurat. Hijab adalah bukti taat, karena hijab merupakan perintah wajib. Untuk
itu dalam kampanye agar para muslimah berhijab, kita sering mendengar orang
mengatakan “hijab tidak menunggu sempurna”, “hijab dipakai di kepala, bukan
untuk menjilbabi hati”, “hijab itu wajib tanpa tapi”, dan masih banya lagi.
Hanya
saja belakangan (sepertinya sudah lama) saya melihat tanggapan beberapa orang
mengenai hijab. Saat ada orang yang menunjukkan tindakan negatif, hijabnya yang
disinggung, bahkan ketika seseorang itu tidak melakukan tindakan negatif,
tetapi ia menggunakan hijab yang branded, mahal, bahannya indah dan sebagainya,
komentar negatif pun datang, entah dibilang sekedar ikut tren, pamer, dan
sebagainya. Komentar-komentar tersebut datang dari kalangan manapun ada yang
dari mereka yang tidak berhijab ada yang dari mereka yang sudah berhijab dan
mengaji (mengikuti kajian agama rutin).
Sebagai
contoh saat ada seorang pegiat parenting yang mengunggah foto beserta statement
tentang keprihatinannya melihat kumpulan ibu-ibu yang sedang bercengkrama di
sebuah food court di salah satu mall. Sebagian dari mereka ada yang membawa
anaknya, dan ada yang merokok. Muncul lah komentar “sayang banget, padahal pake
jilbab tapi kelakuannya kaya gitu..”. Saat banyak muncul model hijab syar’i
dengan harga yang masuk kategori di atas umumnya, ada juga komentar cuma buat
pamer, ikut tren dan sebagainya. Dalam
hati saya berpikir kenapa tiba-tiba akhlak disangkutpautkan dengan hijab?
Bukankah ketika berdakwah, kita –hampir- semua sepakat bahwa hijab adalah
perintah wajib untuk menutup aurat, bukan untuk menutupi akhlak? Bukankah kita
sepakat bahwa hijab adalah adalah perintah wajib bagi muslim yang sudah baligh
sama halnya dengan sholat, puasa, zakat, dan haji?? Atau ada yang tidak
sepakat? Kenapa ketika ada yang menunjukkan perilaku yang kurang pantas
hijabnya yang dibawa-bawa, kenapa tidak sekalian sholatnya, puasanya, zakatnya,
dan juga hajinya?
Salah
satu alasan yang saya tahu adalah beberapa orang merasa khawatir jika perilaku
negatif mereka yang berhijab akan merusak citra hijab itu sendiri, sebagian
juga terusik karena merasa hijab tersebut tidak pantas jika disandingkan dengan
perilaku negatif yang dilakukan pemakainya. Ada lagi yang mengatakan bahwa
mereka bingung apa yang harus disampaikan saat ada yang bertanya “orang itu berjilbab
kok kelakuannya gitu? (baca: negatif). Masih ada lagi yang berujar “wah,
ternyata luarnya doang yang berhijab, dalemnya nggak...” (lah, bukannya hijab emang
untuk menutupi luar (fisik) kita yak?)
Maka
dari itu marilah kita sepakati bersama mulai dari perintah berhijab ini,
”Wahai Nabi!
Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang
mukmin,”Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka.” Yang
demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak di
ganggu.” (Al-Ahzab 59)
Dan katakanlah
kepada perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara
kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang
(biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka dan
….(QS. An-Nur : 31)
Sempurnanya
hijab adalah ketika ia menutup aurat yang diwajibkan untuk ditutup dengan kaidah-kaidah
hijab yang sudah ditentukan. Semoga bisa disepakati, karena ini bukan hanya
dari doktrin pribadi, tetapi apa yang tersurat dalam qalam illahi. Semoga tidak
ada lagi perilaku buruk yang disandingkan dengan hijab. Kasihan mereka yang
sedang berproses, yang sedang mencari jati diri dengan hijabnya, jangan sampai
apa yang kita ucapkan justru membuat orang lain berujar “bener kan kataku,
mending jilbabin hati dulu, daripada fisik, toh yang sudah jilbaban masih
dikata-katain..”. Setiap orang memiliki
prosesnya sendiri-sendiri, daripada menghakimi lebih baik menasihati. Jangan
sampai ada bias dalam mendakwahkan hijab, apalagi oleh mereka yang katanya
rutin mengaji dan mendalami agama, di satu sisi mengajak berhijab tanpa
menunggu sempurna akhlak, karena hijab adalah wajib, karena hijab adalah untuk
menutup aurat bukan untuk “barang bukti” diri sudah sempurna, tetapi disisi
yang lain, ketika yang berhijab menunjukkan perilaku yang kurang berkenan,
kemudian mengatakan apalah arti berhijab jika masih begini dan begitu, atau
menghakimi niat berhijab salah dan sebagainya, ah benarkah manusia bisa melihat
apa yang ada dalam hati seseorang dalam hal ini niat?
Jika
ada yang menanyakan, kenapa ada orang berhijab tetapi perilakunya negatif?
Sampaikan jika seseorang memiliki perilaku yang tidak baik, maka yang perlu
diperbaiki adalah perilakunya bukan hijabnya. Karena dilepas hijabnya pun tidak
akan lantas bim salabim perilakunya berubah jadi bak malaikat bukan?
Sedikit
lega rasanya bisa menuangkan uneg-uneg melalui tulisan. Tulisan ini menjadi
pengingat bagi saya sendiri yang terkadang masih belum “adil” dalam menilai
seseorang, hanya didasarkan pada nilai pribadi, semoga jika mata ini mudah
menilai, hati tetap senantiasa mampu untuk memilih menjaga lisan (tulisan)
untuk berkata.
setuju tidak? sumber |
0 komentar:
Posting Komentar
terima kasih atas kunjungannya, silahkan berkomentar dengan bahasa yang sopan dan tidak mengandung sara